Rabu, 03 Oktober 2012

SEKILAS SEJARAH BMT UGT
SIDOGIRI

Sudah satu dasa warsa Koperasi BMT UGT Sidogiri berdiri dan menapakkan kakinya didalam dunia perekonomian islam di Indonesia. Dan tentu cukup banyak pengalaman, rintangan dan hambatan yang sudah dialami. Akan tetapi alhamdulillah, koperasi BMT UGT Sidogiri hingga kini masih tetap eksis bahkan lebih maju dan berkembang dari tahun-tahun sebelumnya.
Usaha ini diawali oleh keprihatinan Bapak KH. Nawawi Thoyib ( Alm ) pada tahun 1993 akan maraknya praktek-praktek renten di Desa Sidogiri, maka beliau mengutus beberapa orang untuk mengganti hutang masyarakat tersebut dengan pola pinjaman tanpa bunga dan alhamdulillah program tersebut bisa berjalan hampir 4 tahun meskipun masih terdapat sedikit kekurangan dan praktek renten masih belum punah. Dari semangat dan tekad itulah para pendiri Koperasi yang pada waktu itu dimotori oleh Ust H. Mahmud Ali Zain bersama beberapa Asatidz Madrasah ingin sekali meneruskan apa yang menjadi keinginan Bapak KH. Nawawi Thoyib ( Alm ) agar segera terwujud lembaga yang diatur rapi dan tertata bagus. Seperti dawuhnya Sayyidina Ali R.A. bahwa ” Suatu kebaikan yang tidak diatur secara benar akan terkalahkan oleh Keburukan yang terencana dan teratur ”.
Pada tahun 1996 di Probolinggo, tepatnya di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong sedang berlangsung acara seminar dan sosialisasi tentang Konsep Simpan Pinjam Syariah yang dihadiri oleh KH. Nur Muhammad Iskandar SQ dari Jakarta sebagai ketua Inkopontren, DR. Subiakto Tjakrawardaya Menteri Koperasi dan DR. Amin Aziz sebagai ketua PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil) Pusat. Kemudian Ust H. Mahmud Ali Zain mengajak teman-teman asatidz untuk mengikuti acara tersebut. Tidak hanya berhenti disitu saja, namun dilanjutkan dengan kegiatan sosialisasi tentang perbankan syariah di Pondok Pesantren Sidogiri yang dihadiri oleh Direktur utama Bank Mu'amalat Indonesia Bapak H. Zainul Bahar yang dilanjutkan dengan pelatihan BMT dengan mengirim 10 orang untuk mengikuti acara tersebut selama 6 hari. Maka dari panduan dan materi yang telah disampaikan itulah para Asatidz yang terdiri dari Ust H. Mahmud Ali Zain (saat itu sebagai Ketua Kopontren Sidogiri), M. Hadlori Abd. Karim (saat itu sebagai Kepala Madrasah Ibtidaiyah Pondok Pesantren Sidogiri), A. Muna’i Achmad (saat itu sebagai Wk. Kepala Madrasah Ibtidaiyah Pondok Pesantren Sidogiri), M. Dumairi Nor (saat itu sebagai Wk. Kepala Madrasah Ibtidaiyah Pondok Pesantren Sidogiri) dan Baihaqi Ustman (saat itu sebagai TU Madrasah Ibtidaiyah Pondok Pesantren Sidogiri) serta beberapa pengurus Kopontren Sidogiri yang terlibat, berdiskusi, dan bermusyawarah yang pada akhirnya seluruh tim pendiri sepakat untuk mendirikan Koperasi BMT yang diberi nama Baitul Mal wat-Tamwil Maslahah Mursalah lil Ummah Pasuruan disingkat BMT MMU. Mengapa memakai nama MMU?, karena seluruh pendiri pada waktu itu adalah guru-guru MMU (Madrasah Miftahul Ulum) Pondok Pesantren Sidogiri. Dan ditetapkanlah pendirian Koperasi BMT MMU Pasuruan pada tanggal 12 Rabi’ul Awal 1418 H (ditepatkan dengan tanggal lahir Rasulullah SAW) atau 17 Juli 1997 yang berkedudukan dikecamatan Wonorejo Pasuruan. Disaat itu kantor pelayanan pertama BMT MMU masih sewa dengan ukuran luas + 16 m2 dan Modal awal sebesar Rp 13.500.000 ,- yang terkumpul dari anggota sebanyak 148 orang, terdiri dari para asatidz, pengurus dan pimpinan MMU Pondok Pesantren Sidogiri. Menurut sumber dan pelaku langsung, bahwa dari dana sebesar Rp 13.500.000 ,- pada waktu itu untuk bisa memutar dan memproduktifkan dana tersebut sangat banyak sekali hambatan, rintangan dari lingkungan sekitar. Namun sedikitpun para pendiri ini tidak ada yang putus asa ataupun menyerah bahkan menjadikan semangat untuk terus maju. Seiring berjalannya waktu pada tanggal 4 September 1997, disahkanlah BMT MMU Pasuruan sebagai Koperasi Serba Usaha dengan Badan Hukum Koperasi nomor 608/BH/KWK.13/IX/97.
Setelah Koperasi BMT MMU berjalan selama dua tahun maka banyak masyarakat Madrasah diniyah yang mendapat bantuan guru dari Pondok Pesantren Sidogiri lewat Urusan Guru Tugas ( UGT ) mendesak dan mendorong untuk didirikan koperasi dengan skop yang lebih luas yakni skop Koperasi Jawa Timur, juga ikut mendorong berdirinya koperasi itu adalah para alumni Pondok Pesantren Sidogiri yang berdomisili di luar Kabupaten Pasuruan, maka pada tanggal 05 Rabiul Awal 1421 H ( juga bertepatan dengan bulan lahirnya Rasulullah SAW ) atau 22 Juni 2000 M diresmikan dan dibuka satu unit Koperasi BMT UGT Sidogiri di Jalan Asem Mulyo 48 C Surabaya, Lalu tidak terlalu lama mendapatkan Badan Hukum Koperasi dari Kanwil Dinas Koperasi, PK dan M Propinsi Jawa Timur dengan Surat Keputusan no: 09/BH/KWK/13/VII/2000, tertanggal 22 Juli 2000 dengan nama Koperasi Usaha Gabungan Terpadu ( UGT ) Sidogiri. Mengapa memakai nama UGT ?, karena Mayoritas pendiri pada waktu itu adalah Pondok Pesantren atau Madrasah yang tergabung dalam URUSAN GURU TUGAS (UGT) / mengambil guru tugas dari Pondok Pesantren Sidogiri
Alhamdulillah kini Koperasi BMT UGT Sidogiri sudah berumur 11 tahun dengan kemajuan yang cukup pesat menurut data per 31 Oktober 2011, omzet sebesar Rp 1.329.663.429.574,00. asset sebesar Rp 348.577.191.719,00 dan jumlah cabang, cabang pembantu dan kantor Kas sebanyak 138 outlet yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Pengawas, Pengurus dan Manajer Pusat
Pengawas
Pengawas Syariah                         : KH.A. Fuad Noer Chasan
Pengawas Managemen                 : H. Ach. Wafir Irsyad
Pengawas Keuangan                     : A. Saifulloh Muhyiddin
Pengurus
Ketua                                              : H. Mahmud Ali Zain
Wakil Ketua I                                  : H. Abdulloh Rahman
Wakil Ketua II                                 : HM. Sholeh Abd. Haq
Sekretaris                                       : A. Saifulloh Naji
Bendahara                                         : H. Muna’i Ahmad

Manajerial
Manajer Utama                                 : Abd Majid
Manajer Keuangan                           : Abd Rokhim
1. Staf  Akuntansi & Audit Internal    : Saiful Walid
                                                               : Moch. Sholeh Hanifah
   2. Staf  Operasional                           : Ach. Erfan Afandi

Manajer SDI                                       : Hariyanto, SH
   1. Staf SDI, personalia & umum       : M. Muhlas
   2. Staf  Administrasi                          : M. Hasyim : Ismail Khidir
   3. Staf  Resepsionis                            : Nur Kholis

Manajer Marketing                             : HM. Sholeh Wafi
   1. Staf  Funding dan Jasa              : A. Thoha Putra
   2. Staf  Financing                           : A. Misbahul Munir

Manajer IT : M. Aunur Rahman
   1. Staf Pengembangan Software         : Iqbal Fatah
   2. Staf Sarana & Logistik                   : M. Fauzi
                                                              : Agus Salim Selengkapnya...

 BMT UGT SIDOGIRI MENUJU KELAS DUNIA

Pasuruan– Koperasi BMT UGT Sidogiri telah bersiap menjadi koperasi terbesar di dunia untuk memaksimalkan pelayanannya terhadap masyarakat. Untuk itu diperlukan kerja keras semua pihak, termasuk dukungan Pemerintah.
“Saat ini omset Koperasi BMT UGT Sidogiri sudah tembus 1 triliun. Berarti saya yakin tidak lama lagi koperasi Sidogiri menjadi salah satu koperasi terbesar di dunia.” kata Braman Setyo, Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jawa Timur saat memberikan sambutan mewakili Gubernur Jawa Timur, pada Rapat Anggota Tahunan (RAT) Koperasi BMT UGT Sidogiri, di GOR Kota Pasuruan.
Braman Setyo menambahkan, BMT UGT Sidogiri telah memasuki tahapan yang menempatkan dirinya sebagai aset nasional, “Saat ini jelas kami merasa bangga bahwa Jawa Timur punya Sidogiri yang telah menjadi aset nasional, andalan membantu Pemerintah mewujudkan kemakmuran masyarakat, tidak hanya di Jawa Timur tapi seluruh masyarakat Indonesia.” ujar Braman.
Sementara itu H. Mahmud Ali Zain, Ketua Pengurus BMT UGT Sidogiri menegaskan bahwa kinerja pengurus dan karyawan sepanjang tahun 2011 mengalami peningkatan. Beberapa program kerja telah dilaksanakan dengan baik.
“Saat RAT tahun lalu ditargetkan SHU mencapai 40% dan alhamdulillah tahun ini mencapai 45%.” tutur Mahmud di hadapan sekitar 3000 anggota yang memadati stadion olahraga Kota Pasuruan.
Menurut Mahmud, capaian tersebut tidak lepas dari kerja keras dan keyakinan semua pihak, baik pengurus, karyawan dan para anggota, “Semoga kita bisa bekerja lebih baik lagi pada tahun yang akan datang.” imbuh Mahmud yang disaksikan 600 karyawan BMT yang menyempatkan diri datang dari seluruh penjuru Indonesia.
Pantauan NU Online, RAT dihadiri 60% dari total anggota yang berjumlah 6000 orang. RAT tahun 2012 sebagai laporan dan evaluasi kinerja 2011 dan penyusunan program kerja 2012 semakin semarak dengan keterlibatan mitra BMT UGT. Di seputar lokasi dipadati para UKM binaan BMT Sidogiri, termasuk beberapa perbankan dan perusahaan nasional yang selama ini menjalin kerjasama. Di akhir acara, dibagikan belasan door prize, seperti umroh gratis, sepeda motor, dan lainnya.\ Sumber PCNU PASURUAN
Selengkapnya...

CERAMAH: Ustaz Hamid Burhan saat berceramah di sela-sela penancapan tiang pertama Sekretariat PCNU Kabupaten Kayong Utara di Jalan Bhayangkara Sukadana, Senin (1/10) lalu. M SURIMIK UNTUK PONTIANAK POST
SUKADANA – Menyangkut masih adanya oknum-oknum tak bertanggungjawab yang menjalankan aksi bom bunuh diri, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Kayong Utara, menegaskan bahwa mereka itu adalah teroris. Mereka juga dinilai merusak tatanan keamanan dan ketertiban dalam berbangsa dan bernegara.

“Terorisme itu bukan perjuangan mati syahid. Itu bunuh diri. Itu boleh dikatakan pemberontak yang melawan negara. Kalau para teroris yang mengaku-ngaku Islam tidak mau islah dalam sistem kenegaraan kita saat ini, negara berhak menumpasnya,” tegas Ustaz Hamid Burhan, dewan Syuriah PCNU Kabupaten Kayong Utara, sekaligus Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kayong Utara, Senin (1/10) lalu, saat menyampaikan tausiyah di sela-sela penancapan tiang pertama Sekretariat PCNU Kabupaten Kayong Utara di Sukadana.

Ditegaskan dia bahwa NU merupakan organisasi keagamaan kebangsaan, sehingga dalam berdakwah tidak terlalu ekstrem atau fleksibel. “Penancapan tiang atau tongkat pertama pembangunan sekretariat PCNU KKU ini, semoga tanda supaya dalam membina maupun membangun umat yang berkualitas harus lebih ditingkatkan lagi. Tongkat itu memiliki fungsi untuk berbagai keperluan. Demikian juga dengan NU, memiliki peran aktif dalam mencerdaskan perikehidupan berbangsa dan bernegara dengan baik, khususnya dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika,” jelasnya.

Dikatakannya peran NU sangat penting dalam pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1945, karena organisasi ini didirikan tahun 1926. Dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, disebutkan dia bagaimana para alim ulama NU bahu-membahu mengajak umat berjuang membela negara.
Demikian juga ketika memasuki tahun 1950, dia menceritakan bagaimana ketika terjadi gesekan ideologi kenegaraan, sehingga munculnya berbagai pemberontakan bersenjata separatis atau ingin memisahkan diri dari NKRI. NU disebutkan dia, ikut berjuang menjaga keutuhan NKRI. Bahkan ketika Negara Islam Indonesia (NII) yang diasaskan SM Kartosuwiryo, NU menegaskan RI tidak bertentangan syariah karena di sistem perundang-undangannya mengakomodir kepentingan umat dan menghargai kebhinekaan rakyatnya. (mik) Selengkapnya...

Minggu, 25 September 2011

DEFINISI EKONOMI DALAM ISLAM

Ekonomi dalam Islam adalah ilmu yang mempelajari segala prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian & kesejahteraan dunia-akhirat).

Kata Islam setelah Ekonomi dalam ungkapan Ekonomi Islam berfungsi sebagai identitas tanpa mempengaruhi makna atau definisi ekonomi itu sendiri. Karena definisinya lebih ditentukan oleh perspektif atau lebih tepat lagi worldview yang digunakan sebagai landasan nilai.

Pada tingkat tertentu isu definisi Ekonomi Islam sangat terkait sekali dengan wacana Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Islamization of Knowledge) Science dalam Islam lebih dimaknakan sebagai segala pengetahuan yang terbukti kebenarannya secara ilmiah yang mampu mendekatkan manusia kepada Allah SWT (revelation standard – kebenaran absolut). Sedangkan Science dikenal luas dalam dunia konvensional adalah segala ilmu yang memenuhi kaidah-kaidah metode ilmiah (human creation – kebenaran relatif).

Prilaku manusia disini berkaitan dengan landasan-landasan syariat sebagai rujukan berprilaku dan kecenderungan-kecenderungan dari fitrah manusia. Dan dalam ekonomi Islam, kedua hal tersebut berinteraksi dengan porsinya masing-masing hingga terbentuklah sebuah mekanisme ekonomi yang khas dengan dasar-dasar nilai Ilahiyah.

Berikut ini definisi Ekonomi dalam Islam menurut Para Ahli :

1. S.M. Hasanuzzaman,

“ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya, guna memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.”

2. M.A. Mannan,

“ilmu ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan social yang mempelajari permasalahan ekonomi dari orang-orang memiliki nilai-nilai Islam.”

3. Khursid Ahmad,

ilmu ekonomi Islam adalah “suatu upaya sistematis untuk mencoba memahami permasalahan ekonomi dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan permasalahan tersebut dari sudut pandang Islam.”


4. M.N. Siddiqi,

ilmu ekonomi Islam adalah respon “para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi zaman mereka. Dalam upaya ini mereka dibantu oleh Al Qur’an dan As Sunnah maupun akal dan pengalaman.”

5. M. Akram Khan,

“ilmu ekonomi Islam bertujuan mempelajari kesejahteraan manusia (falah) yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber daya bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi.”


6. Louis Cantori,

“ilmu ekonomi Islam tidak lain merupakan upaya untuk merumuskan ilmu ekonomi yang berorientasi manusia dan berorientasi masyarakat yang menolak ekses individualisme dalam ilmu ekonomi klasik.”

Ekonomi adalah masalah menjamin berputarnya harta diantara manusia, sehingga manusia dapat memaksimalkan fungsi hidupnya sebagai hamba Allah untuk mencapai falah di dunia dan akherat (hereafter). Ekonomi adalah aktifitas yang kolektif.
Selengkapnya...

PERBANKAN SYARI'AH YANG ISLAMI

Di zaman krisis global seperti sekarang ini, perbankan syariah menjadi jalan yang sangat diminati oleh sebagian ekonom di seluruh dunia, tapi tahukah anda bagaimana yang disebut perbankan syariah

Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.???

Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun1991, bank ini diprakarsai olehMajelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain:

Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.(wikipedia.org)

Di Aceh sendiri bank-bank syariah sudah banyak berdiri, gimana tidak dengan syariat islam yang berlaku di daerah ini banyak bank yang terinspirasi dengan sistem islam ini yang tidak mengandung riba dan sangat cocok dengan kondisi aceh sekarang ini
Selengkapnya...

KAUM SARUNGAN

Pakaian sarung sering diidentikkan dengan kaum santri, karena itu kaum sarungan sama dengan kaum santri, padahal dalam perkembangan sejaraahnya tidak demikian, sebab sarung merupakan pakaian tradisonal baik di kalangan masyarakat jawa dan Nusantara pada umumnya bahkan Asia Tenggara. Justeru karena kelokalannya itu sarung dijadikan bahan olok-olok dan untuk membuat stigma antara kelompok modern yang kebelanda-belandaan dengan kelompok tradisional. Dan diantara kelompok nasional yang paling konsisten dengan tradisi sarung adalah orang pesantren, maka sarung menjadi semacam indentitas pesantren, sebab orang nasionalis abangan telah hampir meninggalkan pakaian nenek moyang itu. Dapat disaksikan hampir semua aktivis kemerdekaan awal seperti Tirtoadisuryo, Citomangunkusumo, Ki Hajar Dewantoro dan sebagainya semuanya bersarung, bahkan para mahasiswa STOVIA juga masih bersarung. Ada kisah menarik perihal sarung itu, terutama yang berkaitana dengan sikap non coorpeative total, terhadap budaya Belanda, sebagaimana yang dilakukan oleh Ki Sarmidi Mangunsarkoro, salah seorang pemuka pendidikan nasional Taman Siswa dan pimpinan pusat PNI. Ia tetap konsisten memakai sarung, walaupun memasuki gedung Parlemen dan Istana Negara. Kemudian namanya diplesetkan menjadi Ki Mangun Sarungan oleh para wartawan.
Sikap konsisten semacam itu juga dijalankan oleh KH Wahab Chasbullah, Rois Aam PBNU dengan penuh percaya diri, sehingga tidak bersedia memenuhi permintaan pihak protokol kepresidenan untuk berpakaian lengkap (pantaloon, jas dan dasi), tetapi tetap memakai sarung pada saat upacara kenegaraan berlangsung. Demikian pula ketika KH Wahab di forum internasional, saat ia hadir sebagai anggota penasehat delegasi Indonesia mendampingi Bung Karno yang berpidato To Build the World Anew di hadapan Sidang Majelis Umum PBB. Sikap anti kolonialisme Barat secara total ini sering disalah pahami sebagai sikap anti modernisasi, konservatisme dan keterbelakangan.
Hanya orang yang punya integritas sebesar Mangun sarkoro atau Wahab Hasbullah yang berani melawan arus itu, sebab akan terus tegar walaupun mendapat cemooh nasional dan internasional, tetapi mereka terus berjuang membela kemndirian dan keanekaragaman budaya. Semua bangsa dan komunitas bebas mengekspresikan kebudayaan termasuk dalam berpakaian tidak hanya satu ekspresi, yaitu ekpresi seragam Barat, tetapi ekspresi Islam kejawen juga perlu mendapat tempat, sebagaimana Kiai Wahab dan Ki Mangunsarkoro.Karena itu dalam pertemuan politik dan keagamaan kaum pesantren masih terlihat keanekaragaman pakaian ada yang bersarung dan ada yang bercelana. Itulah inti kebebasan dan toleransi.
Selengkapnya...

KONTEKSTUALISASI FIQH

Kita sering terjebak memahami fiqh, sebagai fiqh yang digunakan dalam kondisi normal. Dan seakan-akan ini berlaku untuk dan di semua situasi. Sebagai contoh, hukum potong tangan bagi pencuri. Sesungguhnya hukum itu hanya bisa diterapkan dalam keadaan normal. Tetapi bila kondisinya tidak normal, seperti mencuri karena kelaparan, dan tidak ada yang memberi makanan, maka hukum potong tangan tidak bisa diterapkan.

Kontekstualisasi fiqh, bia¬sanya cenderung diartikan bahwa fiqh seolah-olah harus sesuai dengan tempat dan waktu. Padahal kontekstualisasi tidak selamanya demikian. Seja¬tinya, kontekstualisasi adalah se¬mua hal yang memberikan ruang terhadap perubahan. Jadi bisa saja karena sakit, sehat, panas, dingin, miskin, kaya, dan lain sebagainya, kontekstualisasi bisa berlaku. Seca¬ra singkat dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi dalam fiqh adalah upaya agar hukum fiqh bisa meng-ikuti dan memberikan jawaban atas kondisi dan keadaan tertentu.
Kita sering terjebak memahami fiqh, sebagai fiqh yang digunakan dalam kondisi normal. Dan seakan-akan ini berlaku untuk dan di semua situasi. Sebagai contoh, hukum potong tangan bagi pencuri. Sesungguhnya hukum itu hanya bisa diterapkan dalam keadaan normal. Tetapi bila kondisinya tidak normal, seperti mencuri karena kelaparan, dan tidak ada yang memberi makanan, maka hukum potong tangan tidak bisa diterapkan.
Faktanya, dalam wilayah fiqh tidak selamanya hukum bisa langsung diterapkan. Ada syarat-syarat tertentu di mana suatu hukum bisa dilaksanakan, atau sebaliknya. Ada syarat yang menyangkut benda yang dicuri, kondisi ekonomi, dan lain-lain. Syarat yang menyangkut benda yang dicuri meliputi: Berapa nilai barang yang dicuri, bagaimana barang itu disimpan atau tidak, dan seterusnya. Dari kondisi ekonomi saat itu: Apakah yang mencuri itu karena situasi kelaparan atau tidak. Banyak lagi faktor untuk bisa menetapkan apakah seorang pencuri dihukum potong tangan atau tidak.
Kontekstualisasi itu sendiri tidak selamanya berdasarkan ruang dan waktu, tetapi juga berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh kita dalam upaya melaksanakan Syari’at Islam. Dalam kenyataannya semua hal yang termasuk ke dalam wilayah fiqh pasti kontekstual. Artinya fiqh tidak ada yang mutlak kecuali hukum agama yang mujma’ alaih, dan ini sangat sedikit. Sebagai contoh mudah, dalam bab ribawi. Dalam hal menjual atau menukar sesuatu, disyaratkan harus sebanding atau senilai. Tetapi dalam keadaan terpaksa Rasulullah menyatakan boleh saja tidak sebanding, dan kemudian yang dikenal dengan bai’ul aroyah. Bai’ul aroyah adalah menjual korma yang masih mentah di batang pohon dengan korma yang sudah matang di genggaman orang. Mungkin kalau di Indonesia menjual padi yang masih di sawah dengan nasi. Pada awalnya tidak boleh karena timbangan atau nilainya belum tentu sama, tapi karena kebutuhan maka Rasulullah membolehkan praktik tersebut.
Segala hal yang berhubungan dengan mu’amalah, fiqh selalu kontekstual, tinggal bagaimana kita memahami konteks tersebut. Bukankah Allah SWT sendiri menyatakan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2): 185 ”yuridullaha bikumul yusro wala yuridu bikumul ’usro”, (Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagi kamu). Di sinilah makna kemurahan Tuhan kepada manusia, karena agama memang diperuntukkan bagi manusia. Persoalannya terkadang berada pada manusia itu sendiri. Ada manusia yang tidak bisa melakukan syariat karena budaya telah menciptakan demikian atau karena hal-hal yang disebabkan ketidak mampuannya.
Jika masyarakat tidak terbiasa dengan budaya yang melaksanakan hukum Islam, maka seringkali memaknai hukum Islam itu menjadi sesuatu yang berat. Tetapi ada juga orang yang telah terbiasa melaksanakan hukum Islam, namun karena perkembangan zaman, hukum tersebut sulit untuk diterapkan. Untuk itu kita harus mengadakan revisi pengertian. Hal seperti ini sesungguhnya sudah dan sering terjadi di masyarakat kita. Meski tentu tanpa teorisasi yang memadai
Di Indonesia, kita sering menyesuaikan nilai-nilai Islam dengan kultur atau konteks Indonesia. Dalam hal ini saya mempertanyakan: ”Apakah kita ini orang Islam di Indonesia”, atau ”orang Indonesia yang Islam”. Bagi saya yang lebih tepat kita ini adalah ”orang Indonesia yang Islam”. Istilah ”orang Indonesia yang Islam” mengandung pengertian bahwa kultur atau tradisi Indonesia yang ada tidak bisa dihapuskan, tidak dianggap bid’ah, khurafat, dan lain-lain. Beberapa contoh tradisi dimaksud seperti: tahlilan, nadranan, nujuh hari, dan yang semacamnya.
Kalau kita salah memahami konteks atau tradisi lokal maka terkadang kontekstualisasi juga disalah pahami menjadi alasan untuk melakukan penyelewengan, penghianatan, bahkan penindasan dan keburukan-keburukan lain-nya.
Dari dulu dalam agama secara praksis, kontekstualisasi itu telah ada dan sering kita lakukan, walaupun tanpa kita sadari. Oleh karena itu seakan-akan istilah kontekstualisasi adalah istilah yang baru dalam kehidupan keberagaman kita. Dalam penetapan hukum fiqh dikenal: Al-umuru bi maqosidiha (segala urusan tergantung dari maksud/tujuannya), Al-hukmu yaduru ma’a illatihi (penetapan hukum tergantung dari illatnya). ”Apakah kita ini orang Islam di Indonesia”, atau ”orang Indonesia yang Islam”. Bagi saya yang lebih tepat kita ini adalah ”orang Indonesia yang Islam”. Kaidah ushul ini bersumber dari hadits Nabi: Innamal a’malu bil niyati (sesungguhnya semua amal itu tergantung dari niat).
Tuhan telah memberikan peluang kepada hambanya untuk melakukan kontekstualisasi. Allah SWT menurunkan syariat agama dari mulai Adam, Idris, Musa, Ibrahim sampai Nabi Muhammad disesuaikan dengan zamannya. Untuk hal-hal yang terkait dengan aqidah dari satu nabi ke nabi semuanya sama, tetapi untuk syariatnya berbeda-beda.
Dalam sejarah, proses pemahaman keberagamaan satu tokoh dengan tokoh lainnya tidak selalu sama dan cenderung berbeda-beda. Karena berbeda itulah, muncul para imam mazhab. Ada mazhab Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki dan masih banyak mazhab yang lain. Para pengikut satu mazhab juga dalam beberapa hal bisa berbeda. Ini karena perbedaan tempat, waktu dan budaya. Contohnya, di dalam mazhab Syafi’i timbul perbedaan terutama antara Syafi’i aliran Iraqi dan Khurasani.
Jika ada pemikiran fiqh yang mengandai-andai biasanya disebut ’ala thoriqotul khurasyani. Makanya di dalam kitab Safinah al-Najah ada pengandaian yang sangat jauh, seperti ”andaikan kambing beranak manusia, lalu khutbah Iedul Adha, stelah itu boleh tidak dijadikan hewan kurban?”
Sementara itu dalam Mazhab Syafi’i aliran Iroqi, pengandaian itu tidak perlu di bahas. Yang perlu dibahas dan ditetapkan hukumnya adalah sesuatu yang memang sudah terjadi. Bukan mengandai-andai.
Fiqh Hanya Jalan Bukan Tujuan
Pada awalnya ajaran itu tidak terpilah-pilah, dalam proses pelaksanaan baru muncul persoalan. Ada orang yang dalam melaksanakan aktivitasnya terseret ke dalam hal-hal yang positif tapi ada pula yang negatif. Karena persoalan tersebut maka muncullah hukum fiqh sebagai rambu-rambu yang harus dilalui seseorang dalam menempuh kehidupan supaya lebih bahagia dan sejahtera. Jadi fiqh itu hanya jalan, bukan tujuan itu sendiri.
Ada hal yang sering kita lupakan, yakni pengakuan nilai ketuhanan itu sendiri. Ketika kita mempraktekkan fiqh biasanya kita cenderung bicara soal haram dan halal. Ini bila tanpa nilai ketuhanan maka hanya bernilai duniawi, tapi jika dibarengi dengan nilai ketuhanan maka selain bernilai duniawi juga bernilai ukhrowi.
Sesungguhnya yang lebih penting dalam fiqh bukan sekadar membicarakan hal-hal yang teknis, seperti halal haram atau apa hukum suatu persoalan. Tetapi yang lebih penting adalah soal konsep dasarnya. Konsep dasar yang dimaksud adalah bagaimana kita bisa menjadi orang Indonesia yang Islam. Selain itu, perlu diketahui bahwa fiqh bukanlah untuk menciptakan sistem, tetapi memberikan nilai-nilai dasarnya saja. Jadi ketika kita mengharapkan adanya sebuah proses pembebasan, maka ciptakanlah sistemnya baru kemudian kita bicara bagaimana fiqh memberikan nilai-nilainya.
Kontekstulisasi Fiqh itu Mutlak
Ketika kita mengambil fiqh dari salah satu mazhab dan tidak mau melakukan kontekstualisasi, kemungkinan terjadinya ketidak selarasan antara ajaran dengan realitas akan tinggi. Oleh karena itu kontekstualisasi mutlak diperlukan agar fiqh tidak dianggap sebagai hukum yang mengekang. Dalam hal ini, salah satu metodologi yang dapat digunakan dalam memahami fiqh adalah dengan metode ’urfi. Bukankah kaidah Ushul Fiqh menyatakan bahwa, Al-Tsâbit bi al- ’Urfi ka al-Tsâbit bi al-Nash (apa yang ditetapkan melalui adat kebiasaan setempat sama nilainya dengan yang dtetapkan melalui Nash al-Qur’an dan al-Hadits)
Untuk melakukan kon-tekstualisasi, yang mutlak diperhatikan adalah Maqâsid al-Sayri’ah, yang berupa: (1) hifdz al-dîn, menjaga agama, termasuk tidak ada paksaan dalam agama. (2) Hifdz al-’aql, menjaga akal, termasuk menjamin kebebasan berfikir. (3) Hifdz al-nafs, menjaga jiwa, termasuk menjamin penghidupan yang layak bagi rakyat banyak. Juga menjamin kemanan individu dan masyarakat. (4) Hifdz al-nasl, menjaga keturunan, termasuk menjaga kesehatan reproduksi. (5) Hifdz al-Mal, menjaga harta, termasuk menjaga kesejahteraan dan perekonomian orang banyak. (6) Hifdz al-’Irdh, menjaga kehormatan, termasuk di dalamnya menjaga Hak-Hak Asasi sebagai manusia. Maqâsid al-Syarî’ah ini diupayakan dengan tujuan untuk mencapai mardhotillah, keseimbangan antara kebutuhan kehidupan duniawi dan ukhrowi. Semua itu demi kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Selengkapnya...

Jumat, 16 September 2011

TUJUAN DAN FUNGSI

Meningkatkan program pemberdayaan ekonomi, khususnya di kalangan usaha mikro, kecil menengah dan koperasi melalui sistem syari’ah.

Mendorong kehidupan ekonomi syari’ah dalam kegiatan usaha mikro, kecil dan menengah khususnys dan ekonomi Indonesia pada umumnya.

Meningkatkan semangat dan peran anggota masyarakat dalam kegiatan Koperasi Jasa Kauangan Syari’ah. Selengkapnya...